TEKNIK INTEROGASI
DALAM PENYIDIKAN
Oleh:
Dr.
Y a h m a n, S.H., M.H.
Disampaikan
Dalam Pelatihan Pembuktian
Terkait Saksi Dalam Proses Persidangan
Kerjasama Fakultas
Hukum Universitas Airlangga
Dan Bank Rakyat Indonesia
Angkatan II
Surabaya, Tanggal 14 Oktober 2011
Oleh
Yahman[2]
I. Pendahuluan
Pemeriksaan
memegang peran penting dalam kegiatan penyidikan/interogasi untuk mencari
kebenaran meteriil, sebagai suatiu kewajiban penyidik yang ditentukan dalam
undang-undang. Pemeriksaan adalah merupakan
salah satu tenik mencari dan menedapatkan keterangan terhadap saksi maupun
tersangka dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan
pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna
mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenran
keterlibatan tersangka dalam rangka pembuatan berita acara pemeriksaan.[3]
Upaya penyidikan ini mengacu pada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) Lembaran Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31
Desember 1981, dengan diundangkan KUHAP ini
mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana,
dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula perubahan di dalam sistem
penyidikan.
Tentu dari
perubahan fundamental ini juga mengalami perubahan kultur bagi penegak hukum di
lapangan, sehingga diperlukan upaya-uapaya dalam peningkatan kemampuan,
kecakapan dan kemahiran dari seluruh aparatur penegak hukum dan dilakukan
secara berlanjut. Penyidik sebagai gari terdepan dalam pelaksanaan penegakkan
hukum senantiasa diperlukan dalam memperhitungkan akan terjadinya
persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika berlakunya hukum acara
sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan
hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
bersifat unifikasi dan kodifikasi yang bertujuan untuk kepentingan nasional,
ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti Jerman, Perancis dan
Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang membedaknnya hanya keadaan
dalam menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan, dan tidak
mengenai isinya, khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum Acara Pidana.
Kita ketahui
bahwa sebelum KUHAP ini lahir dalam proses penyelidikan maupun penyidikan masih
menggunakan HIR, perlakuan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana dalam mencari bukti dilakukan
dengan cara-cara kekerasan, bahkan penyiksaan seseorang mengalami kriminalisasi.[4] Hal ini dilakukan karena
semata-mata untuk mengejar pengakuan, tidak didasarkan kepada pembuktian secara
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Tindakan ini dapat
mengakibatkan cacat pisik dan mental terhadap pelaku tindak pidana, terjadi
penyalahgunaan wewenang bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan
hukum pidana merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3885, Pasal 1 ke 6
menyatakan bahwa:
“Pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut
haj asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh oleh
undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku”.
Tentunya dalam penegakkan hukum, aparat
penegak hukum diharapkan tidak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),
pelanggaran ini tidak terjadi manakali aparat penegak hukum memiliki
pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas secara profesional
dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat
penegak hukum harus memahami norma-norma yang berlaku pada masing-masing bidang
hukum, karena masing-masing bidang hukum mempunyai makna penormaan yang
berbeda. Apabila aparat penegak hukum khususnya Kepolisian tidak memahami
“domain” masing-masing bidang hukum, maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh
pencari keadilan dengan jalan pintas untuk segera mendapatkan prestasi dengan
melaporkan ke pihak Kepolisian. Sesuai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 13
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168, menyatakan bahwa:
a. memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat;
b. menegakan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. [5]
Sebagai
pelayan masyarakat Polri tidak boleh menolak laporan atau pengaduan yang
disampaikan kepadanya, semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
cenderung melaporkan ke kepolisian, tidak terkecuali permasalahan yang
dilaporkan menyangkut peristiwa keperdataan maupun permasalahan lainnya.
Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum, sehingga setiap permasalahan yang
terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang dihadapi masuk dalam lingkup hukum
perdata atau hukum pidana, ia tetap melaporkan ke Kepolisian dengan harapan
cepat terselesaikan.
Hal ini aparat penegak hukum diharapkan dapat
memahamai persoalan-persolan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu terdapat norma-norma yang berlaku berupa norma larangan (dwingend recht)
seringkali dilanggar, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan, ekonomi, keamanan dan geografis maupun karakter masyarakatnya. Sedangkan
perkembangan dan kemajuan kejahatan saat ini dipengaruhi pula oleh perkembangan
masyarakatnya. Dalam hubungan ini, I.S. Susanto menulis, wajah kejahatan
dipengaruhi oleh bentuk dan karakter masyarakatnya, artinya masyarakat industri
akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan masyarakat agraris[6].
Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola kehidupan masyarakat akan terpengaruh
dan berkembang secara pesat, sehingga dampak yang muncul sangat mempengarui
terhadap kondisi dan tatanan kehidupan masyarakat, secara perlahan tanpa
disadari atau tidak, pola prilaku maupun pola pikir masyarakat ikut terpengaruh
pula.
Dewasa ini
perkembangan kejahatan semakin canggih, dengan modus maupun cara-cara dalam
melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional,
pola-pola tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam
kegiatan berinteraksi maupun pergaulan masyarakat sehari-hari dalam melakukan kegiatan
cenderung mengikutinya.
Polri sesuai
tugas dan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat dan aparat penegak hukum,
senantiasa bertindak secara profesional dan proporsional, dan mampu memahami
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada serta dalam melakukan proses penyelidikan maupun
penyidikan terhadap suatu kasus yang diterimanya. Dalam melakukan tugas
penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang ditangani ternyata tidak
ditemukan unsur-unsur pidananya, maka pihak Kepolisian khususnya penyidik dapat
untuk menghentikan perkara, dengan mengeluarkan surat ketetapan berupa Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hal tersebut di atur dalam Pasal 109
ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka
penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya.
Penghentian penyidikan adalah
merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan apabila :
a.
Tidak terdapat cukup bukti;
b.
Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana;
c.
Demi hukum karena :
(1) Tersangka meninggal dunia;
(2) Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa;
(3) Nebis
en idem (tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap).
II. Pembahasan
1. Pemeriksaan
a.
Arti Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan
keidentikan tersangka, saksi ahli dan atau barang bukti maupun tentang
unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan
seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan
dituangkan di dalam berita acara
pemeriksaan.[7]
Berita acara pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat
otentik, dibuat dalam bentuk tertentu
oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi
tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka
serta saksi/ahli yang diperiksa, memuat uraian tindak pidana yang
mencangkup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan
pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas penyidik/penyidik pembantu dan
yang diperiksa, keterangan yang diperiksa.[8]
Berita
acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP) sangat berperan
penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-uandang
Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal Justis Sistem,
Polri sebagai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan Hakim sebagai
pemutus dalam Persidangan. Kita ketahui hasil berita acara pemeriksaan (BAP) yang
tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh Penyidik, dapat
dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang dalam proses
peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apabila hasil pemeriksaan
yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat oleh Penyidik, maka dakwaan yang
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan mengalami kekliruan, termasuk vonis
Hakim yang dijatuhkan terhadap seseorang palaku tindak pidana akan mengalami
kesesatan.[9]
b.
Syarat-Syarat Pemeriksaan
Pemeriksa
selaku penyidik/penyidik pembantu dalam melakukan pemeriksaan harus memiliki
kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan
(BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana
dan perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan
mahir dalam melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir
dalam taktik dan tehnik dalam melakukan pemeriksaan.
Di samping
itu pula memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang
terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan
bertindak secara cermat serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang
penyidik/penyidik selaku pemeriksa hendaknya melihat seseorang yang diperiksa,
apakah seorang tersangka maupun seorang saksi dan ahli harus memiliki kemampuan
untuk mempersiapkan rencana pemeriksaan
dengan baik efektif dan efesien. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang
tersangka, saksi dan ahli ditetapkan secara khusus tempat maupu sarana
pemeriksaan, sehingga tujuan dari pemeriksaan dapat berjalan sesuai dengan
harapan yaitu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
c. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan
Dalam
pembuatan beriata acara pemeriksaan, terdapat
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, syarat formal dan materiil[10],
pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan tertulis kata-kata Pro Justitia artinya bahwa format
berita acara yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu atas dasar untuk
keadilan, bukan untuk kepentingan lain. Kemudian setiap lembar dari produk itu
ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu
dan orang yang diperiksa, baik sebagai saksi, tersangka dan ahli. Kedua,
syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau meteri menyangkut urang dari
peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang
dilanggar atau yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.
d. Evaluasi
Evaluasi
pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan cara: tahap
inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar keterangan
para saksi, ahli dapat dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang
disangkakan kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk dijadikan saksi
untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk
menguji kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga
dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang
peristiwa pidana yang terjadi dan dapat menentukan pelaku tindak pidana.
2.
Pembuktian
a.
Arti Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses
untuk mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perselisihan
kepentingan, kepentingan-kepentingan tersebut dapat berhubungan dengan hukum
perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara.
Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang
pengadilan, apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan
hasil pembuktian “tidak cukup“ maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun
apabila dapat dibuktikan maka seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan
diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
Pembuktian memegang peranan penting dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan, dengan bukti-bukti yang diajukan untuk mencari
dan membuktikan kebenaran atau membuktikan kesalahan-kesalahan seseorang,
dengan pembuktian yang telah diajukan dalam persidangan, maka seseorang dapat
diketahui kesalahan-kesalahan disangkakan kepadanya sebagai dasar untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Dari dua pengertian tersebut, maka proses pembuktian
merupakan inti dari penentuan salah atau
tidak seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, dalam
menjalani proses penyidikan atau
pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan salah atau tidak seseorang
tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi Penyidik, Penuntut Umum atau
Hakim, atau pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan tetapi harus melalui proses
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan.
Menurut M. Yahya Harahap[11]
menyatakan bahwa, pembuktian adalah merupakan titik sentral pemeriksaan perkara
dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang,
untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan. Dalam proses persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan
semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Hari Sangsaka
dan Lely Rosita memberikan
pengertian pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macm alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam
pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti serta kewenangan hakim
untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.[12]
Dari uraian tersebut di atas arti pembuktian ditinjau
dari segi hukum acara pidana sebagaimana
di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya
termuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
b. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam
alat-alat bukti sebagai berikut :
Ayat (1) alat bukti yang sah :
a.
Keterangan saksi;
b.
Keterangan ahli;
c.
Surat;
d.
Petunjuak;
e.
Keterangan terdakwa.
Ayat (2) hal yang secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengertian hal-hal secara umum adalah suatu hal yang
secara umum diketahui tentang suatu hal atau keadaan yang biasa lazim terjadi
dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang sudah diketahui umum tidak perlu
dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Macam-macam alat bukti dahulu di atur dalam
pasal 295 HIR, yang terdiri dari sebagai
berikut:
a.
Keterangan saksi;
b.
Surat-surat;
c.
Pengakuan;
d.
Tanda-tanda (petunjuk).
Dalam pasal 184 KUHAP, mengandung makna ketentuan yang membatasi
hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam pemeriksaan sidang
pengadilan. Tidak boleh sembarangan dalam menilai pembuktian dan terikat pada
ketentuan maupun tata cara
penilian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Alat-alat bukti yang
dipergunakan dalam persidangan maupun dalam mempertahankan tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184 KUHAP dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Alat Bukti Keterangan Saksi
Keterangan
saksi adalah merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.
Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
dan memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai berikut:
a.
Harus mengucapkan sumpah atau janji (pasal 160 ayat (3)
KUHAP).
- Pada
prinsipnya sumpah diucapkan sebelum memberi keterangan.
- Pasal
160 (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah
saksi memberi keterangan.
b.
Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti.
Berdasarkan pasal 1 angka 27, keterangan
saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah keterangan saksi mengenai suatu
peristiwa pidana :
- Yang
didengar sendiri oleh saksi;
- Yang dilihat sendiri oleh saksi;
- Yang dialami
sendiri oleh saksi;
- Menyebut
alasan dari pengetahuannya.
c.
Testimonium de auditu (mendengar orang lain tidak
bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau rekaan dari hasil pemikiran saksi
bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai sebagai alat bukti. Kadangkala
dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik kepada seorang saksi sudah
dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan seterusnya, pertanyaan seperti
itu jelas keliru karena saksi tidak boleh bependapat, yang berpendapat adalah ahli.
d.
Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar
keterangan saksi di pengadilan. Keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan
harus diulang dan dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan
saksi di sidang pengadilan. Tidak ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum
membacakan kembali keterangan-keterangan saksi yang penting dan mendukung surat
dakwaan dalam berita acara
pemeriksaan dalam berkas perkara.
e.
Keterangan
seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat bukti yang lain, dan tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa.
Agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan satu orang
saksi harus ditambah dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan ahli, surat,
pentunjuk atau keterangan terdakwa, dengan ketentuan antara alat bukti tersebut
harus saling bersesuaian dan saling menguatkan. Keterangan satu orang saksi
tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, maka alat bukti tunggal tersebut
tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus testis nullus testis). Timbul suatu
pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya dua orang saja, yang keterangannya
saling bersesuaian dan menguatkan tanpa didukung oleh alat bukti keterangan
ahli, surat petunjuk dan terdakwa menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai
alat bukti yang sah untuk menentukan kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam
praktek, keterangan dua orang saksi yang
saling bersesuaian dan menguatkan, dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti
untuk menentukan kesalahan terdakwa.
f.
Cara pembuktian keterangan saksi yang bernilai
pembuktian :
(1)
Keterangan antara saksi satu dengan yang lainnya
saling bersesuaian dan menguatkan bukan
bertentangan dan berdiri sendiri-sendiri.
(2)
Alasan saksi memberi keterangan, pada saat saksi
memberi keterangan sesuatu peristiwa atau keadaan tertentu yang tidak pasti,
seorang saksi dalam memberi keterangan tidak boleh ragu-ragu, keterangan saksi
harus sungguh-sungguh yang dialami sendiri, dilihat sendiri atau didengar
sendiri.
(3)
Latar belakang kehidupan saksi, untuk mengetahui latar
belakang kehidupan saksi, perlu untuk mengetahui apakah ada pengaruh dengan
faktor-faktor kepribadian misalnya suka bohong, pemabuk dan lain-lain terhadap
keterangan yang berikan.
(4)
Pada saat
penyidikan, keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah, jika tidak
hadir di sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut mempunyai
nilai sebagai alat bukti yang sah.
(5)
Keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah.
Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat
bukti, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut,[13]
antara lain :
1.
Syarat obyektif
:
a)
tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
b)
tidak boleh ada hubungan keluarga;
c)
mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun
atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2.
Syarat formal:
a)
kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b)
kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah;
c)
tidak dikenakan asas unus testis nulun testis.
3.
Syarat
subyektif/material:
a)
saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia
dengar dan ia alami sendiri;
b)
dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat,
mendengar dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.
2) Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang di atur
dalam asal 1 angka 28 KUHAP.
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik
menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki
keahlian khusus. Ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka
penyidik, bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang
sebaik-baiknya kecuali apabila disebabkan karena harkat serta
martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan rahasia
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang koban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis disebutkan
dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat. Mayat dikirm kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan
diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan
mayat.
Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor : SE-003/J.A./2/1984, pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan
dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa
pidana, telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai
berikut:
a)
Untuk tindak
pidana umum dan tindak pidana khusus
keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal Mabes Polri;
b)
Untuk tindak
pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal
POM ABRI;
c)
Untuk perakara
yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu Laboratorium Kriminal berdasarkan
kesepakatan antara unsur penegak hukum
yang duduk dalam team untuk perakara
koneksitas.
Pasal 179 KUHAP, setiap orang yang diminta
pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam memberikan keterangan dengan mengucapkan
sumpah atau janji dan memberikan keterangan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Dari
pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai
berikut :
1)
Permintaan
keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan :
- Penyidik
meminta keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil
pemeriksaan" misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan
mengingat sumpah waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat
dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
- Laporan hasil pemeriksaan dituangkan dalam
bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
2)
Keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan
Apabila dianggap perlu
dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun atas
permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta
pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk
keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk "keterangan lisan"
dan "secara langsung" diberikan oleh yang bersangkutan dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan lisan secara langsung
dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan untuk itu ahli yang memberi keterangan
lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan. Jadi
dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan tidak dapat
diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau
pekerjaan. Tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan
sebelum ia memberikan keterangan. Dengan
dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat
bukti yang sah menurut undang-undang. Sekaligus keterangan ahli yang seperti
ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3)
Keterangan ahli
sebagai alat bukti
a)
Keterangan seorang ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b)
Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terang perkara
pidana
yang diperiksa sesuai dengan
pengetahuannya.
4)
Dualisme alat
bukti keterangan ahli tetap satu alat bukti:
a)
Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat
dikategorikan alat bukti surat (Pasal 187 c KUHAP).
b)
Keterangan
ahli secara lisan
dan langsung baik dalam
berita acara penyidik maupun keterangan dalam sidang pengadilan.
3) Alat Bukti Surat
Dalam
pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf
c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a)
Berita acara
dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b)
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c)
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dan padanya;
d)
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksud
dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang untuk
jabatan”, misalnya
berita acara yang dibuat oleh seorang penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya paspor, surat ijin
mendirikan bangunan, surat kartu
penduduk, surat ijin mengemudi, surat yang dibuat oleh seorang notaris dan
sebagainya, yang kesemuanya bernilai sebagai alat bukti surat.
Macam-macam surat dapat dibedakan,[14]adalah:
-
Surat biasa;
-
Surat otentik;
-
Surat dibawah tangan.
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan
ketentuan pasal 187 KUHAP, maka Pasal
187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d
termasuk surat biasa.
Nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata
surat autentik atau surat dalam bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187
huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang “sempurna”, dan mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim. Sedangkan dalam hukum acara
pidana tidak mengatur secara khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat.
Ditinjau dari segi teori dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang
diatur dalam KUHAP dapat ditinjau,[15]
sebagai berikut:
1)
Ditinjau dari
segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 huruf a,b, dan c
merupakan alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat di dalamnya
dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, dan
dibuat oleh pejabat yang berwenang yang memiliki nilai bukti yang sempurna.
Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal yang sempurna”, dari segi formal ini
dititikberatkan dari sudut “teoritis” dikesampingkan oleh beberapa asas dan
ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, yaitu adanya batas minimum pembuktian yang
ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2)
Ditinjau dari segi materiil, semua bentuk surat yang disebut dalam pasal
187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Nilai kekuatan
pembuktian sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian saksi dan alat
bukti keterangan ahli, sama-sama
mempunyai nilai kekuatan yang “bersifat bebas”. Hakim bebas untuk menilai
kekuatan pembuktian, bebas untuk menggunakan atau menyingkirkan.
Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat
tersebut, didasarkan pada beberapa asas; antara lain :
a)
asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah
untuk mencari kebenaran materiil atau
“kebenaran sejati” (meteriel waarheid),
bukan mencari kebenaran formal;
b)
asas keyakinan
hakim, asas ini berhubungan erat dengan sistem pembuktian yang dianut dalam
KUHAP.
c)
asas batas
minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal alat bukti surat (autentik)
sebagai alat bukti yang sah dan bernilai
sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri sendiri, melainkan perlu bukti
pendukung lainnya.
4) Alat Bukti Petunjuk
Dalam pasal 188
KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk adalah sebagai berikut:
(1)
Petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2)
Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; keterangan
saksi; surat; keterangan terdakwa.
(3)
Penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk diperlukan apabila alat bukti
yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang dutentukan dalam pasal
183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri melainkan
berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk dapat digambarkan
sebagai alat bukti yang lahir dari kandungan
alat bukti yang lain,[16] karena :
(1)
selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang
lain;
(2)
alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian,
apabila alat bukti yang lain belum
dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata
lain, alat bukti petunjuk baru dianggap
mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian dengan alat bukti yang lain
belum mencapai batas minimum pembuktian;
(3)
oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya
mencukupi pembuktian dengan alat bukti lain sebelum mempergunakan alat bukti
petunjuk;
(4)
dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk
baru diperlukan pada tingkat keadaan daya upaya pembuktian sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat
bukti yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan
pembuktian sama dengan pembuktian
keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat sifat kekuatan pembuktian yang “bebas”. Hakim
tidak terikat atas kebenaran persesuaian
oleh petunjuk, hakim bebas menilai dan mempergunakan dalam pembuktian.
5)
Alat Bukti
Keterangan Terdakwa
Adalah suatu keterangan terdakwa yang disampaikan di
dalam sidang pengadilan. Keterangan terdakwa lebih luas dari pengakuan
terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban pembuktian, proses
pemeriksaan dalam pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa
mengaku, jaksa penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain,
pengakuan terdakwa “bersalah“ sama sekali tidak
menghapuskan pembuktian. Pasal
189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
(1)
Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2)
Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3)
Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
(4)
Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti
yang lain.
Pengakuan terdakwa atau keterangan terdakwa bukan
merupakan alat bukti yang sempurna, juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan
untuk menjatuhkan kesalahan terdakwa, melainkan perlu alat pembuktian yang
lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut keterangan terdakwa dapat dibagi dua yaitu ;
(a)
Keterangan
terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan (The Confession Outside Court), asas ini menerangkan bahwa
keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai
kekuatan alat bukti, melainkan dapat membantu dan menemukan alat bukti dalam
persidangan.
(b)
Keterangan
terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan, baru merupakan alat bukti.
Keterangan terdakwa tersebut
berisi pernyataan terdakwa
tentang apa yang ia diperbuat, apa yang
ia lakukan dan apa yang ia alami.
3. Sistem
Pembuktian
Sistem pembuktian ada beberapa
ajaran yang berhubungan dengan teori
pembuktian, dalam teori dikenal
4 sistem pembuktian yaitu :
a.
Conviction in Time
Sistem pembuktian Conviction
in time adalah sistem pembuktian
yang mengajarkan dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata
ditentukan oleh penilaian pada ”keyakinan” hakim. Hakim dalam menjatuhkan
kesalahan terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana hakim
menyimpulkan keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan terdakwa, dalam sistem ini tidak menjadi masalah.
Keyakinan boleh diambil dari alat bukti yang dihasilkan dalam
persidangan atau tidak mempergunakan alat bukti yang ada dipersidangan. Hakim
langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sekalipun kesalahan terdakwa telah cukupbukti,
jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya walaupun
kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang sah,
terdakwa bisa dinyatakan bersalah,
semata-mata atas dasar “keyakinan” hakim. Sistem ini unsur subyektif sangat
dominan. Sistem pembuktian conviction in
time ini dipergunakan dalam sistem
peradilan juri, misalnya di Inggris dan
Amerika serikat.
b.
Conviction in Raisone
Sistem pembuktian Conviction
in Raisone ini masih mendasarkan pada “keyakinan” hakim dalam menentukan
kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi. Hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap terdakwa berdasar keyakinannya dan menguraikan alasan-alasan yang
rasional (reasonable). Keyakinan
hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan
yang logis dan dapat diterima oleh akal, tidak semata-mata berdasar keyakinan tanpa batas. Sistem
pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c.
Sistem Pembuktian Secara Positif
Sistem pembuktian positif ini menganut sistem pembuktian menurut undang-undang, yang
berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang,
keyakinan hakim tidak ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang
terdakwa didasarkan atas alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam undang-undang,
sudah cukup bagi hakim untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan
keyakinan hakim. Sistem ini, hakim seolah-olah sebagai robot dalam menjalankan
undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut dalam menentukan kesalahan
terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah kebenaran formal,
dan sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
d.
Sistem Pembuktian Secara Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif dan sistem
pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan
in time). Dalam sistem pembuktian secara negatif ini hakim dalam mentukan
kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang ditentukan
dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim. Terdapat dua komponen dalam
sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan terdakwa[17],
yaitu :
1)
pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
2)
dan keyakinan
hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif”
dan “subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan tidak ada
yang dominan di antara kedua unsur tersebut.
4.
Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP
Setelah
dijelaskan sistem pembuktian yang ada, sistem pembuktian mana yang di anut oleh
KUHAP?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita baca pasal 183 KUHAP, yang
berbunyi “hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekuramg-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan tentang
persyaratan untuk menyatakan seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu
Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah; hakim memperoleh keyakinan
terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan. Dari uraian di atas jelaslah
bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian “negatif
wettelijk”.
5.
Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian KUHAP
Dalam Pelaksanaan sistem pembuktian secara negatif
dalam penegakan hukum di Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku,
penerapan sistem pembuktian secara negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal
183 KUHAP, pada umumnya telah mendekati
makna dan tujuan pembuktian.
Penutup
Bahwa
berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu adalah
merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, dibuat dalam bentuk format tertentu yang memenuhi syarat formal
maupun syarat materiil. Berita acara
pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu sangat penting karena
di buat atas dasar untuk kedilan, yang selanjuya dijadikan dasar oleh Jaksa
Penuntut Umum untuk melakukan dakwakan kepada seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana dalam proses peradilan, bukan untuk kepentingan lain.
Berita
acara yang telah dibuat, kemudian disusun menjadi satu bendel/berkas (yang
dinamakan berkas perkara atau BP), dapat menentukan salah tidaknya seseorang
dalam proses peradilan pidana, dengan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan
peristiwa pidana yang terjadi, dapat dijadikan dasar Jaksa Penuntut Umum untuk
membuktikan kesalahan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana di
depan hakim pengadilan yang memutuskannya.
Berita
acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu yang disusun
menjadi satu bendel/berkas jika salah dan keliru, maka berkas perkara yang
dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana, kemudian diputus oleh hakim pengadilan akan terjadi
kesesatan, pada akhirnya akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
DAFTAR BACAAN
BUKU
Arief, Barda
Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
-----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif
Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
-----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
penanggulangan Kejahatan,
PT Citra Aditya, Bandung, 2001.
Allot, Anthony, The Limits of Law,
dalam Barda Nawawi Arief.
A. Garner, Bryan, Blacks
Law Dictionary, Seven Edition,
St Paul, Minn, 1999.
Bruggink,J.J.H., Rechtsreflecties, alih bahasa
Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
Black, Donal Socilogi Justice,
1986.
Englebecht, R.Susilo
“Sculd” diartikan kesalahan, M.Budianto dan K.Wantjik Saleh” Sculd” diartikan
kekhilafan. Lihat juga P.A.F. Lamintang,
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah
Mada University Press, 2005.
Hantum, Van, dalam
J.E.Sahetapy,.(editor penerjemah), Hukum
Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr.D.Schaffmeister,
Prof.Dr. Nico Keijzer dan Mr. E.PH.
Sitorus, Liberty, Yogjakarta, 1995.
Hamzah,
Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005.
Hutchinson, Terry, Researching and
Writing in Law, Lawbook, Sydney, 2002.
J.
Noyon-G.E. Langemeyer, Het Wetboek
van Strafrecht, Arnhem : S.Gonda-Quint, l954.
JM Van, Bemmelen, Ons Strafrecht,
HD-TW & Zoon NV, Haarlem, 1968,
Lamintang, PAF, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, l997.
-----------,Lamintang,
P.AF, Delik-Delik Khusus Kejahatan
Jabatan danKejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi,
Pionir Jaya, Bandung, 1991,h.276.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian
Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Mertokusumo, Sudikno,Mengenal
Hukum, Liberty, Yogjakarta, 2004.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum
Pidana, Rinika Cipta, Jakarta, 2008.
-----------,Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara,
Jakarta, 1983
Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan
Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan Negara, Laksbang Mediatama, Cet ke 1, Surabaya, 2008.
Moris L. Cohen, et.all, Legal
Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn, l992.
Moch. Anwar, H.A.K, Brigjen Polisi Hukum
Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II)
Jilid I, Penerbit Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1994.
Packer, H.L., The
Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California,
1968.
Paton, G.W. Text Book Of Jurisprudence, Oxpord.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas
Hukum Pidana, Terbitan kelima, Ghalia, Jakarta, l985.
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2002.
Remmelink, Jan, Hukum
Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
R. Dye, Thomas, dalam
Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana
Penjara Dalam Perundang-undangan Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan,UNPAD,1986.
Sahetapy, J.E. (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr.
D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keijzer dan Mr. E. PH. Sutorius, Liberty,
Yogjakarta, l995.
Smith, Russel G, Crime in
the Professions, Ashgate Publishing Limited, England, 2004.
Susanto, I.S, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang,
1995.
Surakhmad, Wiranto, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode
dan Teknik, Bandung, 1972.
Schaffmeister, D, D.N.
Keijzer dan E.PH.Sutorius, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti,Cetakan ke II, Bandung, 2007.
Sangsaka, Hari, dan Lely
Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara
Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Yahya Harahap, M, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Undang-undang
Undang-undang Nomor I Tahun 1946 Jo
Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya Peraturan Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara RI.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan
Kehakiman.
Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Tahun 1968 .
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Himpunan Bujuklak,
Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta,
September 2000.
[1]Disampaikan dalam Rangka Pelatihan
Pembuktian Terkait Saksi Dalam Proses Peradilan Kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dan Bank Rakyat Indonesia Angkatan I Tanggal 13 Oktober 2011.
[2] Yahman
Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara Surabaya.
[3]Lihat,
Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin
Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta, September 2000, hal. 230.
[4]Suatu Istilah dari perseteruan antara “Cicak dan Buaya” dalam kasus Bibit
Candra dan Susno Duadji yang menjadi perhatian Publik, Politisi, maupun para
Pakar Hukum serta tidak henti-hentinya menjadi komentar atau pendapat, dalam
media cetak maupun media elektronik.
[5]
Lihat Pasal 13 Undang-undang Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2002
[7]Lihat
Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin
Proses Penyidikan Tindak Pidana, Loc.Cit.
[8]Ibid. hal. 231.
[9]Lihat
Kasus Penangkapan dan Penahanan serta Proses Peradilan yang dialami oleh
Hambali di Jombang, ternyata ditemukan pelaku yang sebenarnya, hal ini
didasarkan atas pengakukan tersangka dalam tekanan pisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan, pembuktian
tidak dilakukan secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
[10]Lihat
Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin
Proses Penyidikan Tindak Pidana, Op.Cit. hal. 235.
[11]M.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.273.
[12]Hari
Sangsaka dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 10.
[13]Ibid.
hal. 48
[14]Ibid.
hal. 60
[16]Ibid.
hal. 316.
[17]Ibid.hal.
279.
mantap
BalasHapusSANGAT SMART
BalasHapus